arabika temanggung,  Artikel,  kopi temanggung,  robusta,  robusta temanggung,  Sekolah Kopi Temanggung

Ada yang Lebih Instan dari Kopi Instan: Hati yang Tak Mau Menunggu Proses

Dulu, kami sering duduk di beranda kecil sambil menertawakan kopi instan.
Kami menyebutnya kopi bodong — minuman tanpa jiwa, lahir dari pabrik, bukan dari tanah.
Kami bangga, karena kami punya kopi asli, kopi yang ditanam dengan doa dan diproses dengan tangan sendiri.
Kami pikir, tak ada yang bisa lebih rendah dari kopi instan.
Ternyata kami salah.

Hari ini, kami menyaksikan sesuatu yang lebih menyedihkan:
orang-orang yang dulu bangga dengan orisinalitas, kini justru hidup dengan cara yang lebih instan dari kopi itu sendiri.

Kopi instan memang bodoh dalam proses, tapi jujur dengan dirinya: ia diciptakan untuk cepat.
Sementara sebagian petani hari ini — mereka berpura-pura masih menjaga nilai, padahal setiap tindakannya mengkhianati proses yang dulu mereka agungkan.

Mereka dulu yang paling keras berkata:
“Petik merah itu harga mati.”
“Tunggu proses, jangan tergoda harga.”
“Kopi instan bukan kopi, itu bubuk keserakahan.”

Tapi lihatlah sekarang.
Tanaman belum matang, sudah dipetik.
Biji hijau dianggap lumrah.
Janji ke UMKM lokal diingkari tanpa rasa bersalah.
Semua atas nama harga pasar, seolah-olah pasar bisa jadi pembenaran moral.

Yang dulu menghina keinstanan, kini berlomba jadi lebih instan — bukan dalam seduhan, tapi dalam niat.

Ada yang berubah dalam cara kita menanam dan memetik.
Dulu, setiap biji adalah amanah.
Sekarang, setiap biji adalah angka.
Tanah bukan lagi ibu, tapi mesin.
Dan tanaman bukan lagi makhluk hidup yang disyukuri, tapi objek yang diperas sampai kering.

Petani dulu memelihara kopi seperti menjaga anak.
Sekarang mereka memperlakukan kopi seperti sapi perah: diperah, dikuras, lalu ditinggalkan saat hasilnya menurun.
Sementara UMKM — yang dulu jadi saudara seperjuangan — kini dianggap penghalang jalan cepat.

Kita pernah satu meja, satu mimpi.
Sekarang, meja itu kosong.
Yang tersisa cuma kursi-kursi dingin dan suara hujan di luar, mengingatkan bahwa proses panjang yang dulu kita banggakan, kini tinggal cerita basi.

Lucunya, kita dulu menuduh kopi instan tak punya jiwa.
Tapi lihat baik-baik — kopi instan tidak pernah munafik.
Ia tidak berpura-pura jadi kopi biji.
Ia tahu dirinya sederhana.
Ia jujur dengan bentuknya.

Sementara sebagian dari kita, yang dulu bersumpah di ladang bahwa kopi harus jujur, kini menipu dirinya sendiri.
Kopi yang belum matang disebut “siap jual.”
Kopi dari luar daerah dicampur dan tetap dilabeli “Temanggung Asli.”
Kopi yang dulu dijanjikan untuk UMKM lokal, diam-diam dijual ke pemain besar yang datang membawa harga sesat.
Semua dibungkus alasan “demi keluarga”, “demi bertahan hidup”, seolah hidup itu bisa dimaafkan dengan kezaliman kecil.

Inilah ironi zaman:
Yang dulu mengajarkan tentang proses, kini menjadi pelanggar proses itu sendiri.
Yang dulu bicara tentang marwah kopi Temanggung, kini menjualnya dalam karung tanpa rasa malu.

Padahal, proses adalah jiwa dari semua hal yang berharga.
Kopi tanpa proses adalah bubuk.
Petani tanpa kesabaran adalah buruh nafsu.
Dan masyarakat tanpa nilai adalah pasar yang siap dijajah siapa saja.

Temanggung bukan kehilangan kualitas kopinya — tapi kehilangan karakter orang-orang yang dulu menjaga kualitas itu.
Kita sedang jadi generasi yang ingin hasil cepat tapi takut menanggung perjalanan.
Kita ingin panen hari ini, tanpa mau menanam kemarin.

Dan mungkin itu sebabnya, kopi kita kehilangan rasa.
Karena rasa lahir dari proses, bukan dari kebetulan.
Rasa butuh waktu, butuh sabar, butuh kasih sayang.
Tanpa itu, secangkir kopi hanyalah air hitam yang pahit tanpa makna.

Kopi instan mungkin tidak pernah tahu menunggu, tapi ia tidak pernah berkhianat pada jati dirinya.
Sementara kita — manusia yang dulu mengaku penjaga cita rasa sejati — justru kehilangan rasa itu sendiri.

Kita lupa bahwa setiap proses yang dilewati dengan kesabaran adalah bentuk cinta.
Dan setiap kali kita melewatinya demi harga, kita sedang menghapus cinta itu dari tanah sendiri.

Sekarang, aku tak lagi menertawakan kopi instan.
Karena setidaknya, ia masih tahu siapa dirinya.
Yang patut ditertawakan adalah kita —
yang dulu mencaci instan tapi kini hidup dengan cara paling instan dari semuanya:
instan dalam niat, instan dalam komitmen, instan dalam pengkhianatan.

Dan kalau kopi adalah cermin,
maka pantulan di cangkir hari ini tidak lagi menunjukkan tanah Temanggung,
tapi wajah kita sendiri —
yang mulai kehilangan malu pada proses yang dulu kita banggakan.

Mungkin masih ada waktu untuk kembali.
Menanam dengan sabar, memetik dengan hati, menepati janji yang dulu kita buat.
Karena jika tidak, maka sejarah akan menulis satu kalimat getir tentang kita:

“Mereka bukan penjaga cita rasa kopi Temanggung —
mereka hanyalah generasi yang menjadikan keinstanan sebagai jalan hidup.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *